Senin, 17 November 2025

Touring Part 8: Lembah Harau, Lembah Terindah di Sumatera Barat

Lembah Harau, Salah satu lembah terindah di Indonesia

             Brmmm… brmmmm…

Aku kembali memacu si Beamoy melanjutkan perjalanan touring panjang dari Bengkulu menuju Asahan, Sumatera Utara. Setelah sebelumnya berhenti sejenak menikmati kemegahan Gunung Marapi dari tepi jalan Batusangkar—Payakumbuh, perjalanan siang menjelang sore itu terasa sangat menyenangkan.

Setibanya di Kota Payakumbuh, suasana mulai berubah menjadi lebih tenang dengan pemandangan khas Sumatera Barat yang hijau. Dari kota ini aku berencana melanjutkan perjalanan menuju Provinsi Riau. Hingga akhirnya, aku tiba di sebuah pertigaan besar.

Ke kanan menuju Kelok Sembilan, ikon jalan layang yang terkenal di Sumatera Barat.

Ke kiri menuju Lembah Harau, salah satu lembah terindah di Indonesia.

Tanpa pikir panjang, aku langsung belok kiri.

Kapan lagi touring sambil menikmati salah satu surga tersembunyi di Payakumbuh? Saatnya mengunjungi salah satu wisata terindah di Sumatera Barat.

Lembah Harau, Destinasi Wisata Alam yang Wajib Dikunjungi di Sumbar

Lembah Harau berada di Kabupaten Lima Puluh Kota, sekitar 15–20 menit perjalanan dari pusat Kota Payakumbuh. Kalo dari Kota Bukittinggi sekitar 2-3 jam perjalanan dengan mengambil rute Bukittinggi ke Payakumbuh. Nanti terus aja ke arah Kelok Sembilan hingga ketemu pertigaan dengan gapura berhiasan khas Minang bertuliskan “Selamat datang di kawasan Geopark Lembah Harau”. 

Harau Valley

Tempat ini terkenal karena memiliki dinding-dinding batu raksasa yang menjulang tinggi hingga 150–200 meter, membingkai lembah hijau yang sangat luas. Menurut cerita dan hasil penelitian geologi, Lembah Harau dulunya adalah dasar lautan purba. Hal ini dibuktikan dari jenis batuan sandstone yang ditemukan pada tebing-tebingnya serta keberadaan fosil-fosil laut. Karena proses tektonik dan perubahan permukaan bumi, wilayah ini perlahan terangkat hingga akhirnya menjadi lembah megah seperti sekarang. 

Tebing terjal dan sungai kecil
Lembah Harau

Tidak heran kalau suasananya terasa unik—kombinasi antara tebing batu raksasa, hamparan sawah hijau, sungai kecil berair jernih, hingga air terjun alami yang mengalir dari sela-sela tebing.

Begitu memasuki kawasan lembah, pemandangannya langsung memikat.
Di sisi kanan jalan terbentang pesawahan luas yang tampak hijau segar, sementara di belakangnya berdiri tebing batu vertikal berwarna cokelat kemerahan. Tebingnya terlihat sangat masif, seperti dinding raksasa yang memagari seluruh lembah. 

pemandangan persawahan yang dikelilingi bukit dan tebing

Di beberapa titik aku juga melihat rumah-rumah penduduk dengan arsitektur rumah gadang khas Minang, berdiri anggun dengan latar dinding batu yang menjulang. Pemandangan seperti ini rasanya cuma bisa ditemui di Sumatera Barat—unik, eksotis, dan menenangkan. 

Perpaduan alam dan adat dalam satu tempat di Lembah Harau
Rumah Gadang di Lembah Harau

Di tengah lembah mengalir sebuah sungai kecil dengan air yang sangat jernih. Airnya mengalir pelan di antara bebatuan, memantulkan cahaya matahari menjelang sore yang hangat. Suaranya pun membuat suasana terasa damai.

Dan di kejauhan, aku melihat sesuatu yang membuatku makin semangat.
Sebuah air terjun tinggi tampak mengalir dari puncak tebing, jatuh melewati celah-celah batuan sebelum hilang di balik pepohonan.

Melihat itu, aku kembali menarik gas motor.

Brmmm… brmmmm… gas menuju air terjun!

Info Singkat Lembah Harau

Lokasi: Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

Akses: ±20 menit dari Kota Payakumbuh

Jam kunjungan: Bebas, namun terbaik pagi–sore

Harga tiket: Variatif tergantung spot (biasanya mulai dari Rp5.000–Rp10.000)

Daya tarik utama: Tebing batu raksasa, sawah hijau, sungai kecil, dan beberapa air terjun

Cocok untuk: Wisata keluarga, fotografi alam, perjalanan touring, dan eksplorasi sejarah geologi.

Siganteng yang unyu di Lembah Harau

Senin, 10 November 2025

Touring Part 7: Gunung Marapi, Si Penjaga Nagari Minangkabau


View Gunung Marapi dan persawahan dari pinggir jalan

Brrmmmm... brmmm...

Setelah puas menikmati arsitektur megah beserta koleksi sejarah dan budaya di Istano Basa Pagaruyung, aku kembali memacu si Beamoy melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman di Asahan, Sumatera Utara. Dari Batusangkar, arah stangku menuju Kota Payakumbuh — salah satu kota dengan pemandangan indah berupa Lembah Harau yang terkenal di Sumatera Barat.

Namun di tengah perjalanan, mataku justru terpaku pada pemandangan luar biasa di sisi kiri jalan. Di kejauhan, Gunung Marapi berdiri gagah memantulkan sinar sore yang hangat, dikelilingi hamparan sawah hijau yang menenangkan hati.

Gunung Marapi

Gunung Marapi merupakan salah satu gunung berapi aktif di Sumatera Barat, terletak di antara Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Jangan keliru ya, gunung ini beda ama Gunung Merapi yang ada di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Gunung Marapi memiliki ketinggian 2.891 meter di atas permukaan laut, menjadikannya gunung tertinggi kedua di Sumatera Barat setelah Gunung Talamau. Dulu, gunung ini termasuk salah satu destinasi pendakian favorit di Sumatera. Banyak pendaki yang datang untuk menikmati sunrise dari puncaknya. Namun sejak tragedi letusan tahun 2023 yang menewaskan 23 orang pendaki, jalur pendakian resmi ditutup demi keselamatan. Kini, Marapi seakan kembali menjadi gunung yang hanya bisa dinikmati dari kejauhan — tenang, megah, dan penuh misteri.

Saat aku berhenti sejenak di tepi jalan, pemandangan di depanku benar-benar luar biasa. Gunung Marapi tampak kokoh, seolah menjadi penjaga nagari yang tak pernah lelah berdiri mengawasi Tanah Minangkabau. Di kaki gunungnya terbentang sawah-sawah hijau luas, dengan para petani yang masih sibuk bekerja di antara barisan padi muda yang tertiup angin.

Gunung Marapi dengan latar persawahan

Cantiknya lagi, puncak gunung sore itu tertutup awan lentikular, jenis awan yang terbentuk ketika angin lembab naik ke atas gunung dan mengembun di puncaknya. Bentuknya unik seperti topi putih besar yang menutupi kepala sang Marapi. Meski terlihat cantik dan fotogenik, sebenarnya itu pertanda bahwa angin kencang sedang berhembus di puncak gunung.

Aku sempat mematikan mesin si Beamoy, berdiri sejenak menikmati ciptaan Tuhan yang luar biasa ini. Udara sore yang sejuk, aroma sawah basah, dan pemandangan gunung berawan itu membuatku terdiam dalam kekaguman.

Subhanallah...

Kadang, keindahan seperti ini datang tanpa direncanakan. Cukup berhenti sebentar di pinggir jalan, dan kamu bisa merasakan kedamaian yang tidak akan kamu temukan di kota mana pun.

📍 Lokasi: Gunung Marapi, perbatasan Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat

🗻 Ketinggian: 2.891 mdpl

🚫 Status: Gunung berapi aktif (pendakian ditutup sejak 2023)

🎯 Akses terbaik: Jalur Batusangkar – Padang Panjang – Bukittinggi

📷 Spot foto terbaik: Area persawahan sepanjang jalur menuju Payakumbuh

Gunung Marapi sedang bertopikan awan lentikular

Rabu, 05 November 2025

Touring Part 6: Istano Basa Pagaruyung, Jejak Kerajaan Minangkabau

Istano Basa Pagaruyung

Brrmm... brmmm...

Setelah puas menikmati indahnya alam DanauSingkarak, aku kembali menarik gas Beamoy, si motor kesayanganku, untuk melanjutkan perjalanan touring. Dari tepi danau ini, ada dua pilihan jalan — kalau lurus ke arah Kota Bukittinggi, tapi kalau belok ke kanan, jalan itu akan membawaku menuju Batusangkar.

Emmmm.....

Setelah berpikir sebentar, akhirnya kupilih jalur kanan. Gas kuy ke Batusangkar! Brmmm... brmmm...

Menuju Batusangkar

Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok lembut di antara perbukitan. Di kiri-kanan, pepohonan rindang membentuk lorong hijau yang seolah menyambut setiap putaran roda motorku. Udara siang itu terasa segar, lembab khas pegunungan. Sesekali, sinar matahari menembus sela-sela dedaunan dan memantul di kaca spion — membuat suasana perjalanan makin syahdu.

Tak sampai satu jam, akhirnya aku tiba di Kota Batusangkar, ibukota Kabupaten Tanah Datar. Kotanya nyaman, tidak terlalu ramai tapi hidup. Banyak bangunan yang masih mempertahankan arsitektur khas rumah gadang — atapnya menjulang seperti tanduk kerbau, menandakan kuatnya budaya Minangkabau di setiap sudut kota ini.

Istano Basa Pagaruyung

Dari pusat kota, aku melanjutkan perjalanan menuju Istano Basa Pagaruyung, ikon sejarah sekaligus kebanggaan masyarakat Minangkabau. Lokasinya berada di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, sekitar 5 kilometer dari kota Batusangkar. Berada tepat di pinggir jalan utama, istana ini mudah ditemukan — apalagi dengan latar belakang bukit dan tulisan besar “Pagaruyung” yang tampak megah dari kejauhan.

Istano Basa Pagaruyung yang berdiri sekarang adalah replika dari istana asli Kerajaan Pagaruyung, yang dahulu sempat hancur karena kebakaran. Replika ini dibangun kembali dengan tetap menjaga keaslian arsitektur tradisional Minangkabau.

Bangunannya berdiri gagah — tiga tingkat, berdinding kayu, dipenuhi ukiran bermotif khas Minangkabau, dengan atap ijuk hitam menjulang berbentuk gonjong (tanduk kerbau). Dari depan saja sudah terasa aura megah dan sakralnya, seolah membawa kita mundur ke masa kejayaan kerajaan Minangkabau. 

Arsitektur bangunannya sangat indah
Terdapat banyak ukiran khas Minangkabau

Menjelajahi Bagian Dalam

Setelah membeli tiket seharga Rp20.000, aku pun melangkah masuk ke dalam istano. Saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai kayu yang mengilap, aku langsung terpesona oleh suasananya — hangat, wangi kayu, dan terasa penuh sejarah.

Bagian dalam kini difungsikan sebagai museum budaya Minangkabau. Di ruang pertama, aku disambut deretan keramik kuno yang tersusun rapi. Di sisi lain, ada pajangan kain yang beragam. Salah satunya adalah kain sulaiman benang emas yang berkilau keemasan. 

Koleksi keramik
Koleksi kain

Naik ke lantai dua, yang disebut Anjungan Paranginan, dulunya menjadi tempat tinggal para putri raja yang belum menikah. Di sini aku menemukan koleksi benda-benda bersejarah seperti kapak batu, alat musik tradisional, hingga peralatan upacara adat

Anjungan Paranginan

berbagai koleksi di dalam Istano Basa Pagaruyung

Sementara di lantai tiga, yang disebut Ruang Mahligai, tersimpan berbagai perhiasan dan alat kebesaran raja — termasuk mahkota kerajaan yang dulu menjadi simbol kekuasaan. Dari lantai ini aku menatap keluar jendela, terlihat pemandangan menakjubkan: di belakang istana berdiri Bukit Bungsu dengan tulisan “Pagaruyung”, dan di depan terbentang kota Batusangkar yang dikelilingi barisan perbukitan hijau. 

Ruang Mahligai
Pemandangan halaman istano
Pemandangan dari lantai tiga istano
Pemandangan di belakang istano

Setelah puas berkeliling dan menikmati setiap detail sejarah yang tersimpan di dalam istano, aku pun kembali ke halaman depan. Angin sore berhembus lembut, membuat bendera umbul-umbul berwarna hitam, merah dan kuning – warna khas Minangkabau di halaman istana berkibar pelan.

Aku menyalakan Beamoy lagi. Brmmm... brmmm...

Waktunya melanjutkan perjalanan berikutnya — meninggalkan jejak roda di tanah yang dulu pernah menjadi pusat kebesaran Kerajaan Minangkabau.

Info Singkat Istano Basa Pagaruyung

📍 Lokasi: Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

🕒 Jam buka: Setiap hari, pukul 08.00 – 17.00 WIB

🎟Harga tiket: Rp20.000/orang

🏛Daya tarik utama: Arsitektur rumah gadang bertingkat tiga, museum sejarah dan budaya Minangkabau, pakaian adat, serta panorama Bukit Pagaruyung.

🚗 Akses: Sekitar 15 menit dari pusat Kota Batusangkar, bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum lokal.

Backpacker ganteng dan imut di depan Istano Basa Pagaruyung

Jumat, 31 Oktober 2025

Touring Part 5: Danau Singkarak, Danau Terbesar di Sumatera Barat

Danau Singkarak

Brrrrr... dingin cuy! 🌧

Di antara deru hujan aku kembali memacu Beamoy melintasi jalan lintas Kerinci–Solok setelah sempat berhenti sebentar di tepian Danau Di Atas. Dari sana, jalanan masih didominasi pemandangan indah berupa kebun teh Danau Kembar yang terhampar luas di kanan dan kiri jalan, dengan latar perbukitan hijau yang tampak samar tertutup kabut.

Andai saja cuaca tak semendung ini, pasti perjalanan ini akan jauh lebih sempurna. Daun-daun teh yang basah tertimpa sisa hujan berkilau memantulkan cahaya redup dari langit kelabu — pemandangan yang tetap menenangkan meski dinginnya menusuk tulang.

Tak lama kemudian aku sampai di sebuah pertigaan jalan: ke kiri menuju Kota Padang via Sitinjau Lauik, dan ke kanan menuju Kota Solok. Karena tujuanku hari ini adalah Danau Singkarak, tentu aku memilih belok ke kanan.

Brmmm... brmmm... Beamoy melaju lagi, menembus sisa kabut yang perlahan mulai menipis.

Kota Solok — Serambi Madinah di Lembah Hijau

Kota Solok merupakan sebuah kotamadya di Sumatera Barat, dulunya adalah ibu kota Kabupaten Solok sebelum dipindahkan ke Arosuka. Kota ini dijuluki “Kota Beras Serambi Madinah”. Julukan itu bukan tanpa alasan — selain dikenal sebagai penghasil beras berkualitas tinggi, masyarakat Solok juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

Begitu memasuki kota, suasana terasa lebih hidup. Bangunan rapi, jalanan cukup ramai, dan di kejauhan tampak pegunungan hijau yang mengelilinginya. Syukurlah, hujan sudah mulai reda dan hanya menyisakan sedikit mendung di langit. Aku pun bisa melepas mantel hujan yang sudah kupakai sejak dari Kerinci.

Udara masih dingin, tapi semangat touring kembali menghangat. Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di tempat yang sudah lama ingin kukunjungi...

Danau Singkarak

Danau Singkarak berada di antara Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Letaknya sangat strategis karena jalan raya Solok–Bukittinggi membentang tepat di tepi danau. Jadi, sepanjang perjalanan, mata dimanjakan oleh pemandangan air danau yang luas dan tenang, berpadu dengan barisan bukit yang mengelilinginya.

Air danau tampak berwarna jernih kehijauan dengan permukaan yang beriak halus tertiup angin. Sesekali terlihat perahu wisata bersandar di pinggir danau, sementara di beberapa titik terdapat jaring-jaring ikan terapung milik warga. 

Danau Singkarak
Perahu wisata di Danau Singkarak
Keramba ikan di Danau Singkarak

Dulu aku sering melihat Tour de Singkarak di televisi — ajang balap sepeda yang melintasi tepian danau ini. Saat itu aku cuma bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan di sepanjang jalur ini. Dan sekarang, akhirnya aku melihatnya langsung di depan mata. Rasanya luar biasa!

Danau Singkarak sendiri merupakan danau tektonik terbesar di Sumatera Barat. Menurut penjelasan geologi, danau ini terbentuk akibat pergerakan Sesar Sumatera yang menyebabkan dasar permukaan bumi ambles dan membentuk cekungan besar. Karena itu, permukaan airnya terlihat dalam dan diapit oleh barisan pegunungan yang berdiri kokoh mengelilinginya. 

Danau Singkarak merupakan danau terbesar di Sumatera Barat
Pemandangan di tepian Danau Singkarak
Danau Singkarak dan perbukitan di sekelilingnya

Udara di sekitar danau terasa sejuk, bahkan sedikit dingin menusuk kulit. Di beberapa tempat, terlihat rumah-rumah panggung khas Minangkabau berdiri di pinggir jalan, sementara pepohonan pinus dan cemara menambah kesan alami di sekeliling danau. Aku lantas menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di salah satu warung, menikmati sebutir kelapa muda sembari memandangi indahnya Danau Singkarak. 

Menikmati kelapa muda
Warung-warung di tepian Danau Singkarak

Setelah puas menikmati keindahan alam Singkarak, aku kembali bersiap melanjutkan perjalanan. Mesin dan ban si Beamoy yang sudah dingin kusiapkan lagi.

Brmmm... brmmm...

Gas kuy, lanjut ke Batusangkar dulu! 🚴

Beamoy dengan latar Danau Singkarak
Siganteng nan unyu di Danau Singkarak

🔖 Info Singkat: Danau Singkarak

  • Lokasi: Kabupaten Solok & Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
  • Luas: ±108 km²
  • Kedalaman maksimum: ±268 meter
  • Asal usul: Danau tektonik akibat pergerakan Sesar Sumatera
  • Daya tarik: Pemandangan danau dari jalan raya dan jalur legendaris Tour de Singkarak 

Senin, 27 Oktober 2025

Touring Part 4: Danau Di Atas


Danau Di Atas

Yuhuuu... selamat pagi, kawan-kawan! 🌤

Pagi ini suasana di Perkebunan Kayu Aro begitu indah. Setelah semalam hujan deras mengguyur, hamparan kebun tehnya tampak segar dan berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Di kejauhan berdiri gagah Gunung Kerinci, gunung api tertinggi di Pulau Sumatera. Bagian puncaknya sedang terselimuti awan putih yang memanjang ke arah timur — terlihat megah sekaligus misterius.

Setelah sarapan pagi sederhana, aku bersiap melanjutkan perjalanan touring bareng si Beamoy (BeAT Gemoy). Rencananya hari ini aku akan menempuh rute dari Kerinci, Jambi menuju Payakumbuh, Sumatera Barat lewat jalur Solok.

Brmmm... brmmm...

Aku mulai memacu si Beamoy dengan santai, menikmati udara pagi yang sejuk sambil menatap pemandangan kebun teh dan gunung yang menjulang megah di belakangnya. Tapi belum juga jauh, kabut tebal turun perlahan menutupi pandangan. Kabutnya begitu pekat sampai jarak pandang hanya beberapa meter saja. Tak lama, hujan deras kembali turun.

Brrrrr... hadewh, kuyup lagi nih.

Aku buru-buru mengenakan mantel hujan dan memutuskan tetap melanjutkan perjalanan. Padahal kalau cuacanya cerah, di sepanjang rute ini banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Jalur ini menuruni kaki Gunung Kerinci, dan di beberapa titik ada air terjun yang terkenal seperti Air Terjun Telun Berasap. Tapi kali ini aku harus fokus ke jalan, karena jalannya berkelok tajam dan menurun.

Jalannya juga cukup sepi, hanya sesekali terlihat rumah penduduk di antara hutan dan perkebunan kayu manis. Selebihnya, hanya suara mesin Beamoy dan rintik hujan yang menemani perjalanan pagi itu.

Melewati Nagari dan Jalanan Licin

Setelah beberapa waktu, aku tiba di Muara Labuh, sebuah nagari di Kecamatan Sungai Pagu. Di sini sebenarnya ada kawasan wisata yang terkenal, yaitu Nagari Seribu Rumah Gadang. Katanya, di dalam perkampungan itu masih banyak rumah gadang asli yang masih dihuni warga dan terawat dengan baik. Tapi karena cuaca yang kurang bersahabat, aku memutuskan melanjutkan perjalanan.

Selepas Muara Labuh, aku tiba di Surian, salah satu kecamatan di Kabupaten Solok Selatan. Di sini aku melihat beberapa rumah rusak akibat banjir bandang.

Syeremmmm... rasanya membayangkan derasnya air yang turun dari pegunungan beberapa waktu lalu.

Dari Surian, jalan kembali menanjak. Aspalnya sudah mulai rusak di beberapa bagian, banyak lubang yang harus kuhindari, membuatku tak bisa memacu Beamoy dengan bebas. Tapi dari tanjakan inilah, pemandangan mulai berubah — udara semakin dingin, dan bukit-bukit hijau mulai tampak di kejauhan.

Menyapa Keindahan Danau Di Atas

Di sekelilingnya hijau

Tak lama kemudian, dari ketinggian di sebelah kiriku mulai terlihat genangan air luas berwarna keperakan di bawah kabut tipis — Danau Di Atas.
Danau ini berada di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, tepat di tepi jalan yang menghubungkan Kota Solok dengan Kerinci.

Meskipun hujan masih turun, pemandangannya tetap menakjubkan. Airnya tampak seperti cermin raksasa kelabu, memantulkan awan mendung yang menggantung di atasnya. Di sekeliling danau berdiri perbukitan hijau yang memagarinya dengan rapat, sementara pohon-pohon pinus di tepi jalan berdiri tegak seolah menjaga keheningan tempat itu. Tak salah mereka menjuluki tempat ini dengan nama Swiss dari Sumatera Barat.

Sesekali terlihat kabut tipis melayang di atas permukaan air, membuat suasananya terasa magis dan tenang. Udara dingin menusuk kulit, tapi pemandangan itu cukup membuatku terdiam sejenak. 

Meski hujan tapi tetap mempesona

Berhubung hujan masih deras, aku hanya bisa mengabadikan pemandangan sebisanya. Jujur aja, rasanya belum puas. Rencananya aku juga ingin mampir ke Danau Di Bawah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari sini, tapi aku tidak menemukan persimpangannya. Lagipula hujan malah makin deras.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Danau Singkarak.

Brmmm... brmmm...

Mendung tebal membuatku tidak puas menikmati keindahannya