Brmmm.... Brmmm...
Aku
terus memacu kereta (baca: motor) ku dalam perjalanan pulang menuju Kota Medan
setelah selesai dari perjalanan edisi menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan
uang kurang dari 100 ribu. Setelah sebelumnya singgah di Masjid Azizi,
Tanjungpura, Kabupaten Langkat. Akhirnya aku sampai juga di Kota Stabat,
ibukota Kabupaten Langkat. Berhubung waktu ashar sudah hampir tiba, aku
kemudian membelokkan kereta ke arah parkiran Masjid Raya Stabat.
Singgah dulu |
Skip skip
Masjid Raya Stabat
Masjid
Raya Stabat merupakan salah satu masjid peninggalan bersejarah yang ada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
selain Masjid Raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Masjid ini juga merupakan
masjid terbesar dan masjid utama di Kota Stabat, Kabupaten Langkat.
Masjid Raya Stabat |
Lokasi Masjid Raya Stabat
Masjid ini berada di Kota Stabat, ibukota Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara. Tepatnya di sisi Sungai Wampu dan berada di pinggir Jalan
Lintas Sumatera, Medan-Banda Aceh sebelum Jembatan Stabat. Kalo dari Medan
masjidnya ada di sebelah kiri.
Sejarah Masjid Raya Stabat
Masjid
ini dibangun dua tahun setelah pembangunan Masjid Azizi di Tanjung Pura, tepatnya
mulai
dikerjakan pembangunannya pada tahun 1904 semasa
Kejuruan Stabat T HM Khalid.
Pada awal
pembangunan, masjid ini hanya terdiri dari bangunan induk seluas 20 meter
persegi delapan, ditambah teras dua meter keliling dan satu buah menara masjid.
Saat itu jama’ah yang dapat ditampung hanya berkisar 300 orang.
Tapi
sekarang Masjid Raya Stabat ini telah berkembang pesat, luas areal masjidnya
saat ini menjadi 4.454 meter persegi dengan daya tampung mencapai 1350 jamaah.
Fasilitas masjid juga dikembangkan seperti bangunan whudu’ wanita, perpustakaan
masjid dan aula.
Arsitektur Masjid Raya Stabat
Masjid
Raya Stabat ini memiliki arsitektur dengan corak Melayu Langkat yang khas yang
terlihat dari warna masjidnya yang didominasi warna kuning dan hijau, warna kebesaran
suku Melayu. Pada bagian kubah, kubah masjid ini terlihat menonjol yang
menunjukkan ciri khas bangunan Melayu Langkat. Di bagian luar, terdapat pula
lebih dari 100 tiang penyangga masjid untuk menahan bangunan masjid.
Tiang penyangga masjid di bagian teras |
Pada bagian
dalam masjid terlihat beberapa kaligrafi dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Selain
itu juga terdapat beberapa corak lain yang khas. Sedangkan mimbar masjid ini
menurut ku terlihat mirip dengan mimbar masjid di Masjid Azizi.
Bagian dalam masjid dan mimbarnya |
Kubah masjid bagian dalam |
Puas
mengagumi keindahan arsitektur masjid bersejarah ini, sholat ashar juga udah
beres, aku pun melanjutkan perjalanan menuju Kota Medan dan berharap tidak
sampe kemalaman. Akhirnya pukul 17.30 WIB aku sampe juga
di sarang ternyaman, kost ku.
Gilak!
Rasanya
pegal-pegal juga nih badan setelah seharian naik kereta menempuh jarak ratusan
kilometer dari Kota Medan hingga Kota Kuala Simpang di Aceh Tamiang, dari
Sumatera Utara hingga Provinsi Aceh. Dan gimana dengan kondisi keuangan kita?
Ternyata cukup bahkan masih berlebih. Ini dia rincian biayanya.
Bensin dua kali ngisi Rp. 33.000
Makan Siang Rp. 12.000
Pisang Sale Rp. 10.000
Total Rp. 55.000
Artinya
dari duit Rp. 100.000 yang kubawa masih tersisa duit Rp. 45.000 lagi,
siipppp... mantap. Masih bisa makan enak. Hahahaha....
So...
dengan ini selesai deh perjalanan ku menembus batas Sumatera Utara-Aceh dengan
uang kurang dari 100 ribu dan dengan destinasi yang bisa ku kunjungi yaitu PerbatasanSumut-Aceh, Istana Karang, Istana Benua Raja, Masjid Azizi, Makam Tengku AmirHamzah dan Masjid Raya Stabat. Sampai ketemu di cerita perjalanan selanjutnya
kawan backpack sejarah.