Sumatera Utara merupakan
provinsi yang terdiri dari banyak etnis seperti Melayu, Toba, Pakpak, Karo,
Simalungun, Mandailing, Angkola dan etnis-etnis lainnya. Setiap etnis suku
tersebut memiliki kesenian dan budayanya masing-masing dan beberapanya saat ini
terkenal sebagai salah satu atraksi wisata yang membuat wisatawan mancanegara
terpesona. Salah satu kesenian hasil budaya tersebut adalah menari Tor-Tor
bersama Patung Sigale-Gale dari budaya Batak Toba.
Menari Tor-Tor atau
disebut juga manortor bersama patung Sigale-Gale adalah sebuah kegiatan tarian
tor-tor, tarian khas Batak yang diiringi musik Gondang. Sigale-Gale sendiri
adalah sebuah boneka kayu yang berdiri layaknya manusia dan
memang berbentuk seperti manusia lengkap dengan panca indera dan mengenakan
pakaian adat Batak. Boneka Sigale-gale ini bisa menari layaknya manusia, bahkan
gerakannya pun hampir sama dengan gerakan tarian yang dilakukan oleh manusia
karena dibantu oleh beberapa dalang yang berada di belakangnya. Oh ya...
katanya boneka ini juga bisa menangis lho... hiii...
Boneka Sigale-Gale |
Sejarah
Cerita dari boneka ini bermula
dari seorang Raja di Uluan yang bernama Raja Rahat. Raja ini telah lama
ditinggal oleh istrinya dan ia hanya memiliki seorang putra yang menjadi
mahkota dari kerajaan itu. Putranya itu bernama Manggale. Dalam
kepemimpinananya, Raja ini sangat bijaksana dan putanya juga sangat dihormati
dan disegani oleh rakyatnya kerena ketangkasannya dalam berperang.
Tibalah pada suatu hari
terdengar kabar bahwa di hutan Uluan yang jadi perbatasan Uluan telah berkumpul
pasukan dari seberang negeri Uluan hendak menyerang dan menjarah harta kekayaan
alam Uluan. Mendengar hal itu rakyat juga sang Raja tampak gelisah dan dia
tetap berusaha keras memikirkan rencana untuk menghadapi ancaman ini, lalu ia
mengumpulkan penasehat-penasehatnya, para tetua kampung, Datu-datu dan putranya
Manggalae selaku panglima perang. Dari semua penatua ada seorang Datu yang
dianggap sebagai penasehat tertua dan ucapan dari Datu ini sangat didengarkan
oleh Raja, Datu itu bernama Datu Manggatas. Mendengar semua perkataan Raja,
semua tampak takut dan bingung untuk memberkan keputusan yang tepat. Datu
Manggatas itu pun menyarankan untuk berperang melawan dan mengutus Manggalae
sebagai pemimpin dalam perperangan itu, dan semua pun setuju dengan pendapat
Datu lalu genaplah keputusan sang Raja untuk berperang lalu ia pun mengutus
putranya Manggalae untuk memimpin pasukan Uluan menghadapi musuh di pebatasan
tersebut.
Setelah enam bulan berlalu,
Manggalae dan pasukan nya masih berperang di dalam hutan. Raja dan rakyatnya
menantikan kepulangan mereka, namun belum ada kabar karena tidak ada yang
berani masukl kedalam hutan. Sampai suatu seketika sang Raja bermimpi, dalam
mimpinya ia melihat seekor burung gagak yang sedang terbang diatas rumahnya dan
tiba-tiba burung gagak itu terjatuh dan mati karena tertusuk anak panah. Sang
Raja pun sering merenungi mnakna mimpi itu dan menafsirkan nya sebagai pertanda
buruk. Kekhawatiran juga ketakutannya begitu menyiksanya, karena Manggalae
adalah putra semata wayangnya. Tak tahan menahan rindunya, Raja pun jatuh
sakit. Melihat keadaan sang Raja para tetua dan penasehat Raja berkumpul dan
berunding dalam memikirkan cara penyembuhaannya. Lalu Datu Manggatas pun
memberikan masukan untuk membuat patung menyerupai wajah Manggalae dimana Datu
manggatas akan mengundang roh Manggalae untuk masuk kedalam patung tersebut
agar patung tersebut dapat bergerak seperti manusia, dimana rasa rindu Raja
dapat terobati apabila melihat patung itu. mendengar masukan dari Datu itu
mereka pun membuat patung itu demi kesembuhan Raja.
Tepat pada bulan purnama,
setelah semua persiapan selesai, semua rakyat pun berkumpul menantikan
kehadiran Raja bersama Datu Manggatas untuk melihat patung itu, betapa
terharunya semua rakyat yang berkumpul disitu karena melihat sang Raja yang
menangis menatap patung itu. Lalu Datu Manggatas pun mengisyaratkan pada
pargonci untuk memainkan gondang sabangunan, lalu diikuti dengan tiupan alat
musik sordam. Menyusul tabuhan Gondang, sang datu mengambil tali tiga warna :
merah, hitam dan putih. Lalu mengikatnya dikepala patung itu. Datu lalu
mengenakan ulosnya, dan membaca mantra sambil mengelilingi patung tersebut
sampai tujuh kali, dan tiba-tiba patung itu bergerak dan tidak hanya bergerak
juga manortor bersama sang Datu. Kemudian Datu menjemput sang Raja untuk ikut
manortor bersama patung Manggalae. Semua rakyat pun terharu dan ikut bergabung
manortor bersama-sama. Mereka manortor hingga fajar terbit dan tibalah roh
Manggalae tersebut harus kembali kealamnya sebelum ayam berkokok karena
begitulah perjanjiannya.
Roh Simanggalae pun kembali
kealamnya meninggalkan patung itu juga seluruh rakyat uluan yang hadir. Dan
patung itu pun tidak dapat lagi bergerak. Raja Rahat lalu menyimpaan patung
itu. Demikianlah sang Raja terhibur. sehingga sejak saat itu, apabila sang Raja
rindu bertemu dengan putranya, ia akan mengadakan upacara pemanggilan roh dan
akan manortor bersama ''anak'' nya itu sampai pagi. Patung itu pun dinamai
Sigale-gale karena gerakannya yang lemah dan seolah tak bertenaga dan pacara
ini selalu dilakukan hingga sang Raja meninggal dunia.
Menjadi Atraksi Wisata
Saat ini kegiatan manortor
bersama bonek sigale-gale adalah sebuah kegiatan wisata yang mampu menarik
minat banyak wisatawan lokal maupun mancanegara dan telah menjadi salah satu
identitas dalam pariwisata Provinsi Sumatera Utara secara umum, dan Samosir
secara khususnya.
Wisatawan ikut manortor |
mahasiswa juga ikutan |
Lokasi
Atraksi
wisata ini biasanya dapat ditemui di Pulau Samosir. Selain itu, manortor
bersama patung Sigale-gale juga dapat ditemui di Huta Batak yang berada di
Komplek Silalahi Center, Jalan Pagar Batu No. 88, Desa Silalahi, Kecamatan
Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.